Rabu, 11 Januari 2012

KEILAHAN DAN KARYA ROH KUDUS TERHADAP PENGEMBANGAN PRIBADI KRISTEN DI ERA GLOBALISASI

 
Oleh: Ev. Imanuel Adhitya W. Ch., S.E., M.Pd.


            Seringkali banyak orang Kristen mempertanyakan mengapa harus mempelajari Roh Kudus dengan benar dan memahami keberadaan-Nya sebagai Allah. Menurut Millard J. Erickson (Erickson, 2004, hal. 14-15) yaitu, alasannya bahwa melalui Roh Kudus inilah Allah Tritunggal menjadi nyata bagi orang percaya. Alasan kedua adalah, karena kita hidup pada masa ketika karya Roh Kudus lebih menonjol dibandingkan dengan karya kedua oknum lainnya, alasan berikutnya bahwa suasana sekarang ini lebih menekankan pengalaman, dan hanya melalui Dialah kita dapat mengalami perjumpaan dengan Allah secara pribadi (encounter with God). Roh Kudus memberi hidup, tinggal dan aktif dalam diri orang percaya (Roma 8:2, 9-11) sehingga mereka mengalami penyertaan Allah secara pribadi (Ibrani 13:5c), serta mempunyai karunia dan kuasa yang besar untuk melakukan perkara-perkara yang ajaib guna melaksanakan amanat agung dalam kehidupan sehari-hari (I Korintus 12:4-11, Matius 28:18-19).
Dasar doktrin bahwa iman Kristen mengenal dan memercayai bahwa Allah pencipta alam semesta ini adalah Trinitas, dimana Bapa, Anak, dan Roh Kudus masing-masing adalah pribadi, tetapi tidak dapat dipisahkan secara esensi satu dengan yang lainnya (Sproul, 1990, p. 73). Dengan kata lain, Roh Kudus yang sepenuhnya bersifat pribadi, hendaknya diberikan penghormatan dan perlakuan yang seimbang serta ditaati dalam konteks otoritas yang sama dengan Allah Bapa dan Allah Anak. Roh Kudus tidak boleh dipandang sebagai suatu esensi yang lebih rendah dari Bapa dan Anak, walaupun peranan-Nya kadang-kadang lebih rendah dari kedua-Nya (Erickson, 2004, hal. 38).
Kerangka berpikir di atas dapat dijelaskan secara analitis bahwa fungsi salah satu anggota Trinitas untuk sementara waktu mungkin kurang penting dari oknum yang lain, tetapi ini tidak berarti bahwa pada dasarnya salah satu bagian menjadi lebih rendah dari bagian yang lain. Yesus Kristus sebagai Allah Anak tidak menjadi lebih rendah dari Allah Bapa selama masa inkarnasinya di bumi, tetapi Ia merendahkan diri-Nya secara fungsional kepada Allah Bapa. Pada sisi yang lain, Roh Kudus merendahkan diri pada waktu diutus oleh Allah Anak (Yohanes 16:7-9) untuk melanjutkan karya-Nya di dunia, saat Ia memuliakan Yesus (Yohanes 16:14), maupun ketika melakukan kehendak Allah Bapa. Tetapi hal tersebut tidak menyatakan bahwa posisi Roh Kudus menjadi kurang penting dibandingkan posisi Allah Bapa dan Allah Anak. Keilahian masing-masing oknum, yaitu Bapa, Anak, dan Roh Kudus harus dinyatakan secara kualitatif dan memiliki otoritas yang sama.
            Roh Kudus adalah pribadi ketiga dari Allah Tritunggal yang datang untuk menggantikan Allah Anak dengan sepenuhnya, melanjutkan pekerjaan Kristus serta menggenapi pelayanan-Nya di bumi (Mandey, 1999, hal. 37). Roh Kudus adalah Roh Allah itu sendiri, Roh yang keluar dari diri Allah, Roh yang dimiliki oleh Allah, memiliki atribut-atribut ilahi dan Dia turut mencipta dunia ini bersama dua pribadi Allah yang lain, yaitu Allah Bapa dan Allah Anak (Owen, 2004, p. 63-64). Roh Kudus mempunyai sifat-sifat ilahi yang sama dengan Allah sebelum dan sesudah penciptaan, dari kekal sampai kekal dan tidak dibatasi waktu dan tempat (Tong, 1995, hal. 24). Roh Kudus adalah pribadi yang menyatakan dan menginsyafkan akan dosa serta memimpin kita dengan kuasa-Nya, sehingga kita mengalami perjumpaan dengan Allah secara pribadi (Palmer, 2005, p. 12-13). Tanpa adanya pertolongan dari Roh Kudus maka tidak seorangpun dapat mengenal Allah dengan benar.
Sebagai pribadi, Roh Kudus menyaksikan dan mengajarkan kebenaran-kebenaran Allah sesuai dengan apa yang telah tertulis dalam Alkitab (II Timotius 3:16, Yohanes 14:26). Roh Kudus sebagai pribadi juga memberikann instruksi atau perintah untuk memberitakan injil, seperti yang dilakukan-Nya kepada Barnabas dan Saulus (Kisah Para Rasul 13:4). Sebagai bukti bahwa Roh Kudus adalah benar-benar seorang pribadi seperti yang tertulis dalam Alkitab, yaitu Dia dapat didukakan atau dilukai (Efesus 4:30), dihujat (Matius 12:31-32), didustai pada saat peristiwa Ananias dan Safira (Kisah Para Rasul 5:3), dihina (Ibrani 10:29), dilawan (Kisah Para Rasul 7:54-60), dihalangi (Kisah Para Rasul 7:51), dicobai (Kisah Para Rasul 5:9) dan dipadamkan (1 Tesalonika 5:19).
Keilahan dan Kepribadian Roh Kudus adalah dua bagian yang saling terkait dan merupakan bentuk konkret karya-Nya di dalam kehidupan orang percaya setelah kenaikan Yesus ke sorga. Dalam berkarya Roh Kudus memiliki nama dan gelar sebagai identitas diri dan menunjukkan bahwa Ia adalah sebagai pribadi. Menurut pengajaran yang disampaikan oleh Rev. W.W. Patterson, nama dan gelar Roh Kudus seperti yang tertulis dalam Alkitab adalah sebagai berikut (Mandey, 1999, hal. 41-43) :
Kristus atau “Yang Diurapi” (Kolose 1:27, Efesus 4:12-16) merupakan urapan yang dinyatakan oleh Roh Kudus, Penolong atau penghibur (Yohanes 14:26, 16:7, 14:16, 15:26), Roh (Yohanes 3:6-8), Roh Kekudusan (Roma 1:4), Roh Allah (I Korintus 3:16, 2:11), Roh dari Allah yang hidup (II Korintus 3:3), Roh Tuhan (Lukas 4:18), Roh Tuhan Allah (Yesaya 61:1), Roh Bapa (Matius 10:20), Roh Anak-Nya (Galatia 4:6), Roh Kristus (Roma 8:9), Roh Yesus Kristus (Filipi 1:9), Roh Yesus (Kisah 16:6-7), Roh yang kekal (Ibr. 9:14), Roh kasih karunia (Ibrani 10:29), Roh Kebenaran (Yohanes 14:16), Roh Kehidupan (Roma 8:2), Roh Kemuliaan (Petrus 4:14), Roh yang membakar (Yesaya 4:4), Roh yang mengadili (Yesaya 4:4), Roh Hikmat (Yesaya 11:2), Roh Pengertian (Yesaya 11:2), Roh Nasihat (Yesaya 11:2), Roh Keperkasaan (Yesaya 11:2), Roh Pengenalan (Yesaya 11:2), Roh takut akan Tuhan (Yesaya 11:2), Roh pengangkatan (Roma 8:15), Roh Kudus yang dijanjikan (Efesus 1:13, Kisah 1:4, Galatia 3:14), Roh Kasih (II Timotius 1:7), Roh memerintahkan diri (II Timotius 1:7), Roh-Mu yang baik (Nehemia 9:20, Mazmur 143:10), Roh-Mu yang rela (Mazmur 51:14), Roh pengasihan dan permohonan (Zakharia 12:10, Roma 8:26-27), Roh Nubuat (Wahyu 19:10).
Dengan demikian, semakin jelas bagi kita bahwa Roh Kudus terlibat dalam tindakan-tindakan moral serta pelayanan yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pribadi. Tindakan tersebut seperti mengajar, memperbarui, mencari, berbicara, bersyafaat, memerintah, bersaksi, menuntun, menjelaskan dan menyatakan sesuatu (Erickson, 2004, hal. 37). Firman Tuhan mengatakan bahwa Roh Kudus membantu kita dalam kelemahan, sebab kita tidak tahu bagaimana sebenarnya harus berdoa. Tetapi Roh Kudus sendiri yang berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan (Roma 8:26). Jelas sekali dalam konteks ayat tersebut menunjukkan bahwa Rasul Paulus sedang membahas pribadi yang berkarya untuk setiap orang, dengan tujuan membantu menyelesaikan pergumulan hidup dan permasalahan yang dihadapi oleh jemaat di Roma pada waktu itu; bahkan sampai saat ini, karya Roh Kudus terus menyertai umat-Nya kapanpun dan dimanapun (Yohanes 16:13).
Demikian halnya dengan perkataan Yesus yang menyatakan pribadi Roh Kudus dalam Yohanes 16:8, bahwa jikalau Roh Kudus datang ke dalam dunia, maka Dia akan menginsyafkan dunia akan dosa, kebenaran, dan penghakiman. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Roh Kudus adalah benar-benar suatu pribadi yang berkuasa dan bukanlah sebuah kekuatan gaib semata. Pribadi Roh Kudus adalah pribadi Allah itu sendiri, memiliki esensi dan otoritas yang sama dengan Allah Bapa dan Allah Anak. Antara pribadi yang satu dengan yang lainnya tidak ada kontradiksi dan tumpang tindih fungsi jabatan pada saat menjalankan peran mereka masing-masing.
Roh Kudus adalah pribadi yang sesungguhnya berkuasa (dunamis), mampu membangkitkan  Kristus dari antara orang mati dan mendudukkan-Nya di sebelah kanan Allah Bapa di sorga (Efesus 1:19-20). Sehingga sebagai orang-orang percaya yang hidupnya dipimpin oleh Roh Allah (Roh Kudus), maka kita akan disebut sebagai anak Allah (Roma 8:14), yang mempunyai pengetahuan untuk mengenal Allah dengan benar (Efesus 1:17c). Dengan menyandang status sebagai anak Allah, maka kita pun adalah ahli-ahli waris yang berhak menerima janji-janji Allah dan dipermuliakan bersama-sama dengan Dia di dalam kerajaan-Nya (Roma 8:17).

            Roh Kudus dan karya-Nya harus dipahami secara benar oleh orang-orang percaya, sebab di dalam karya Roh Kuduslah Allah secara pribadi bekerja di dalam diri orang percaya (Erickson, 2004, hal. 39). Kata “Roh” dalam bahasa Yunani adalah “Pneuma” yang berarti angin, udara atau nafas. Maka dapat didefinisikan bahwa Roh Kudus adalah (Dia) yang menjadi nafas kehidupan (Mandey, 1999, hal. 37). Dalam perjanjian lama, Roh Kudus berperan aktif dalam karya penciptaan, hal ini dapat dilihat bahwa pada waktu bumi belum berbentuk dan masih kosong, Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air (Kejadian 1:2). Karya Allah yang berkaitan dengan hasil penciptaan, merupakan wujud nyata bahwa Roh Kudus turut bekerja sama dalam proses penciptaan alam semesta beserta isinya.
            Wujud lain dari karya Roh Kudus dalam masa perjanjian lama adalah memberikan nubuatan seperti yang dialami oleh seorang nabi yang bernama Yehezkiel pada saat bangsa Israel berada dalam pembuangan di Babel (Yehezkiel 2:2). Roh Kudus juga berkarya dalam diri Bileam (Bilangan 24:2), pada saat dia disuruh Balak untuk mengutuk bangsa Israel, tetapi justru Bileam memberkati bangsa Israel karena Roh Allah bekerja dalam dirinya. Karya Roh Kudus juga dialami oleh Saul waktu diangkat oleh Samuel untuk menjadi raja atas Israel, lalu ia pun kepenuhan Roh Kudus dan bernubuat (1 Samuel 10:6-10). Pada jaman hakim-hakim, para pemimpin pada saat itu sangat mengandalkan karya Roh Kudus dalam menjalankan tugasnya sebagai hakim atas bangsa Israel. Misalnya seperti Otniel (Hakim-Hakim 3:10) dan Gideon (Hakim-Hakim 6:34, 14:19), Roh Tuhan menghinggapinya sehingga ia berani maju berperang bersama dengan pasukan Israel melawan bangsa Aram dan Midian, dan akhirnya mereka berhasil mengalahkan musuh-musuhnya. Nabi-nabi dalam perjanjian lama juga mengalami karya Roh Kudus yang luar biasa, sehingga melalui nubuatan-nubuatan yang mereka sampaikan, firman Allah diberitakan di hadapan bangsa Israel dan bangsa-bangsa lain yang belum mengenal Tuhan. Roh Kudus berkarya ketika memberitahukan perihal kedatangan Mesias kepada nabi Yesaya (Yesaya 42:1-4, 61:1-3). Yoel sebagai seorang nabi yang mendapat ilham dari Roh Kudus juga memberitakan nubuatan tentang hari Pentakosta yang akan datang di kemudian hari setelah kenaikan Yesus ke sorga (Yoel 2:28-29).
            Dalam masa perjanjian baru, Roh Allah berkarya melalui beberapa tokoh seperti Maria yang mengandung Yesus Kristus dari Roh Kudus (Lukas 1:35). Roh Kudus juga tampak jelas karya-Nya dari awal sampai akhir pelayanan Tuhan Yesus, mulai dari baptisan air, dimana Roh Kudus turun dalam wujud burung merpati ke atas Tuhan Yesus (Matius 3:16, Yohanes 1:32) serta pencobaan Yesus di padang gurun. Roh Kudus membawa Yesus Kristus untuk berperang melawan penguasa-penguasa kegelapan serta memberikan kekuatan kepada-Nya (Lukas 4:1-2). Allah Roh Kudus menyertai Yesus sepanjang karya-Nya di dunia dalam bentuk tanda-tanda mujizat yang diadakan-Nya, baik ketika mengusir roh jahat (Lukas 11:20, Matius 12:28), menyembuhkan berbagai penyakit (Markus 1:34, Lukas 4:40), berjalan di atas air (Markus 6:48), berkhotbah dengan penuh kuasa (Lukas 4:14, Yohanes 3:34), penyaliban-Nya (Ibrani 9:14), kuasa kebangkitan-Nya (Roma 1:4, 8:11, I Petrus 3:18), maupun kenaikan-Nya (Kisah Para Rasul 2:23, Yohanes 15:26, Lukas 24:49). Sepanjang hidup Yesus di dunia sepenuhnya dikuasai oleh Roh Kudus, dan apa yang diperbuat pada saat pelayanan-Nya adalah murni karya Roh Kudus. Peran utama Roh Kudus dalam proses keselamatan kita adalah menyatukan kita dengan Kristus (Hoekema, 2006, hal. 36). Dengan kata lain, bahwa Roh Kudus turut menopang secara aktif pelayanan Yesus Kristus dalam karya keselamatan umat manusia secara universal untuk menggenapi misi Allah Bapa terhadap manusia yang berdosa, dalam rangka memulihkan kembali hubungan antara Allah dengan manusia yang telah rusak (Yohanes 3:16, Kisah Para Rasul 4:12). Dengan demikian, hubungan yang telah rusak antara manusia dan Allah tersebut dapat disatukan kembali melalui karya penebusan Kristus di atas kayu salib.
            Karya Roh Kudus pasca kenaikan Yesus ke sorga terbagi dalam tiga bagian besar, yaitu karya-Nya sebagai penolong (Yohanes 14:16), karya-Nya sebagai penghibur (Yohanes 14:26), dan karya-Nya sebagai pemimpin (Yohanes 16:13). Dalam kehidupan kekristenan, karya Roh Kudus berperan aktif dalam konteks pertobatan manusia yang telah jatuh ke dalam dosa. Yesus berjanji bahwa Dia akan mengutus Roh Kudus untuk menginsafkan dunia dari dosa, kebenaran, dan penghakiman (Yohanes 16:8). Penginsafan akan dosa diberikan karena manusia tidak percaya kepada Kristus sebagai Juruselamat dunia (Yohanes 16:9), sehingga manusia menjadi sadar akan dosanya karena Roh Allah itu datang atas hidupnya. Penginsafan akan kebenaran diberikan karena Kristus pergi kepada Bapa (Yohanes 16:10), sehingga ketika Roh Kudus menunjukkan kebenaran Kristus, maka Dia akan menyatakan kesalahan manusia dan memunculkan keinsafan yang menetap. Dan penginsafan akan penghakiman tersebut akan diberikan karena penguasa dunia ini telah dihukum (Yohanes 16:11). Dalam hal ini Roh Kudus berperan sebagai penolong yang akan menuntun manusia ke jalan kebenaran yang sejati dan mendiami mereka (Yohanes 14:16-17). Roh Kudus sanggup memengaruhi seseorang dengan lebih intensif, karena dengan mendiami orang itu Dia dapat mencapai pusat berpikir dan perasaan manusia (Owen, 2004, p. 331). Dengan demikian pelayanan Roh Kudus menghasilkan pembalikan total, perubahan dalam cara berpikir kita (Ferguson, 2007, hal. 54).
            Sebagai penghibur, Roh Kudus memberikan damai sejahtera dan kehidupan oleh Roh kepada setiap orang percaya (Roma 8:5-6, Yohanes 15:26, Kisah Para Rasul 9:31). Wujud penghiburan dari Roh Kudus adalah Ia juga memberikan berbagai karunia-karunia khusus kepada orang-orang percaya di dalam kesatuan tubuh Kristus (unity of believers in Christ). Karunia-karunia Roh tersebut diberikan kepada gereja Tuhan untuk membangun tubuh Kristus dan bukan hanya sekedar untuk kebanggaan pribadi setiap jemaat. Karena tidak ada seorang pun yang memiliki segala jenis karunia Roh Kudus di dalam dirinya (I Korintus 12:14-21) dan tidak ada satu karunia pun yang tidak diberikan kepada setiap orang percaya (I Korintus 12:28-30), maka setiap anggota adalah saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Dan semua karunia-karunia itu penting untuk saling melengkapi dan membangun tubuh Kristus ke arah kesempurnaan. Karya-Nya sebagai penghibur, Roh Kudus membantu kita di saat mengalami beban hidup dan pergumulan yang begitu berat, maka Dia sebagai Roh Pengasihan dan Roh Permohonan (Zakharia 12:10, Roma 8:26-27) akan membantu orang percaya untuk dapat bertahan menghadapi setiap beban dan pergumulan hidup yang dialami, agar iman percayanya kepada Tuhan tidak menjadi goyah (I Korintus 15:58).
            Sebagai pemimpin, Roh Kudus berperan sebagai guru yang mengajarkan segala sesuatu dan mengingatkan orang-orang percaya apa yang telah dikatakan oleh Tuhan Yesus (Yohanes 14:26, 15:26). Pelayanan Roh Kudus tidak hanya sekedar bagi para murid-Nya saja, namun juga membantu orang-orang percaya saat ini untuk memahami kitab suci (Erickson, 2004, hal. 52). Roh Kudus mengajarkan kepada setiap pribadi orang percaya tentang kebenaran ilahi yang tidak dapat diajarkan oleh manusia manapun (I Yohanes 2:27). Pemahaman yang benar terhadap firman Tuhan, akan membuat hidup manusia menjadi lebih baik dan menjadikannya senantiasa bertumbuh ke arah kebenaran yang hakiki di dalam Kristus (Yohanes 16:13) serta menjadi anak Allah dan murid Kristus yang sejati (Roma 8:14).





DAFTAR REFERENSI

Erickson, Millard, J. (2004). Teologi kristen volume 3  [Christian theology]. Malang: Penerbit Gandum Mas. (Original work published 1983)



Erickson, Millard, J. (2004). Teologi kristen volume 1  [Christian theology]. Malang: Penerbit Gandum Mas. (Original work published 1983)


Ferguson, Sinclair B. (2007). Kehidupan Kristen sebuah pengantar doktrinal [The Christian Life: A Doctrinal Introduction]. Surabaya: Penerbit Momentum. (Original work published 1981)


Hoekema, Anthony. (2006). Diselamatkan oleh anugerah. Surabaya: Penerbit Momentum.


Letham, Robert. (2004). The Holy Trinity: scripture, history, theology, and worship. New Jersey: P&R Publishing Company.


Mandey, dkk. (1999). Betapa hebat kuasa-Nya. Pare: Departemen Literatur dan Media Massa MP-GPdI.


Marsh, Colin. (2004). Becoming a teacher: Understandings, skills and issues. Frenchs Forest: Pearson Education Australian Group.


Palmer, Edwin, H. (2005). The Holy Spirit His persons and ministry. New Jersey: P&R Publishing Company.


Palmer, Parker, J. (1998). The courage to teach. United States of America: Jossey-Bass.


Owen, John. (2004). The Holy Spirit His gifts and power. Scotland: Christian Focus Publication Ltd.


Ozmon, Howard, A. (2008). Philosophical foundations of education. New Jersey: Pearson Education Ltd.


Sproul, R.C. (2005). Kebenaran-kebenaran dasar iman Kristen  [Essential truths of the Christian faith]. Malang: Literatur SAAT. (Original work published 1997)


Sproul, R.C. (1990). The mystery of the Holy Spirit. Illinois: Tyndale House Publisher, Incorporation.

Suparno, Paul. (2002). Reformasi pendidikan sebuah rekomendasi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.


Sairin, Weinata. (2001). Pendidikan yang mendidik: Butir-butir pemikiran strategis-reflektif di seputar pendidikan. Jakarta: Yudhistira.

Tong, Stephen. (1995). Roh Kudus, doa dan kebangunan. Surabaya: Momentum (Lembaga Reformed Injili Indonesia).



 

PERAN DAN KARYA ROH KUDUS TERHADAP PENGEMBANGAN PRIBADI DAN KUALITAS PENGAJARAN GURU-GURU KRISTEN DI ERA GLOBALISASI

 
Oleh: Ev. Imanuel Adhitya W. Ch., S.E., M.Pd.

Secara umum, dalam era globalisasi saat ini lembaga pendidikan di Indonesia dituntut mampu mengatasi masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan pengembangan kualitas sumber daya manusia dan sistem pengajaran serta sukses menghadapi tantangan jaman yang semakin berkembang pesat. Adapun masalah-masalah dalam dunia pendidikan yang terjadi di Indonesia saat ini secara makro menurut Prof. Azyumardi Azra adalah (Azra, 2002, hal. xv-xvi) :
Kesempatan mendapat pendidikan masih terbatas (limited capacity), kebijakan pendidikan nasional yang sangat sentralistik dan menekankan uniformitas (keseragaman), pendanaan pendidikan yang belum memadai, akuntabilitas yang berkaitan dengan pengembangan dan pemelilharaan sistem dan kualitas pendidikan yang masih timpang, profesionalisme guru dan tenaga kependidikan yang masih belum memadai, serta relevansi yang masih timpang dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja.

Sedangkan tantangan jaman yang harus dihadapi adalah bagaimana untuk mampu berkompetisi secara sehat dan menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, terutama bidang teknologi komunikasi dan sistem informasi. Perubahan tersebut berdampak nyata terhadap sistem pengajaran pada pelbagai lembaga pendidikan formal di Indonesia. Hal ini ditandai dengan pemanfaatan fasilitas internet dan berbagai media audio-visual dalam proses belajar-mengajar di kelas secara formal. Fasilitas-fasilitas tersebut menjanjikan suatu kemudahan dan kenyamanan bagi para praktisi pendidikan (guru dan siswa) dalam mencari referensi materi pembelajaran serta melakukan update informasi mengenai gejala-gejala alam yang terjadi, perkembangan ilmu pengetahuan dan riset-riset dalam bidang pendidikan secara global.
Tanggung jawab sosial di bidang pendidikan dalam konteks di atas bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah dan lembaga pendidikan sekuler semata, namun juga merupakan bagian tanggung jawab sosial dan moral bagi lembaga pendidikan Kristen di Indonesia. Lembaga Pendidikan Kristen (LPK), dalam hal ini sekolah-sekolah Kristen yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, memandang bahwa keseluruhan tujuan dari pendidikan Kristiani adalah untuk membantu dan membimbing para siswa menjadi murid Kristus yang bertanggung jawab dan hidup dalam kebenaran (Brummelen, 2006, hal. 19).
Prinsip kebenaran Allah nyata dalam karya ciptaan-Nya, termasuk para siswa sebagai manusia yang berharga dan mulia di mata-Nya (Kejadian 1:28, Yesaya 43:4). Manusia dapat mengenal kebenaran tersebut melalui firman Allah (2 Timotius 3:16, Yohanes 1:1), karya keselamatan Allah melalui Yesus Kristus (Yohanes 3:16, Filipi 2:8-11), kelahiran baru (II Korintus 5:17, Kolose 3:10), serta hidup dipenuhi dan dipimpin oleh Roh Kudus sebagai Roh Kebenaran (Galatia 5:25, Yohanes 14:16-17). Kebenaran-kebenaran tersebut akan berjalan seiring dengan kedewasaan rohani dan pertumbuhan iman Kristen dalam diri orang percaya, khususnya berkaitan dengan pengembangan pribadi dan kualitas pengajaran para guru-guru Kristen dalam mentransfer pengetahuan (knowledge transfer), membangun karakter (character building), dan membimbing para siswa untuk senantiasa hidup sebagai anak-anak terang (Efesus 5:8c), serta secara terus-menerus bertumbuh secara rohani menjadi serupa seperti Kristus (live as a light children and growth to be Christ like). Menjadikan mereka sebagai generasi masa depan yang takut akan Tuhan dan hidup dalam kebenaran yang sejati sehingga dapat menjadi berkat bagi orang lain dimana mereka menjalankan seluruh aktifitas kehidupan sehari-hari (Filipi 2:15).
Menyimak konsep pembelajaran di atas mengenai tanggung jawab sosial dan moral untuk membangun sebuah wacana pengembangan pribadi sumber daya manusia bagi guru-guru Kristen dan peningkatan kualitas pengajaran di sekolah-sekolah Kristen, maka penting sekali bagi seorang guru untuk memahami pribadi dan karya Roh Kudus dalam komunitas mereka sehari-hari. Dengan demikian guru-guru Kristen tersebut dapat mengajarkan konsep-konsep kebenaran yang sejati berlandaskan firman Allah (words of God’s)  kepada para siswanya dengan hikmat dan pimpinan Roh Kudus.
Tugas utama seorang guru dalam konteks pendidikan Kristen adalah membantu para siswa untuk belajar mengenal Allah di dalam Yesus Kristus dan melalui firman-Nya tersebut, mereka boleh bertumbuh dan menjadi serupa dengan Kristus dalam kehidupan sehari-hari. Tuhan memanggil guru Kristen untuk menuntun siswa-siswanya dalam pengetahuan dan kepekaan yang kemudian memimpin mereka untuk melayani Tuhan dan sesama (Brummelen, 2004, hal. 44). Ini berarti seorang guru Kristen tidak hanya membantu murid mengetahui berbagai pengetahuan (knowledge) dan ketrampilan hidup (creative living) semata, namun juga bertanggung jawab secara moral untuk mengenalkan kebenaran Allah dalam diri siswa. Kebenaran Allah inilah yang mendasari proses pendidikan dan pembelajaran di dalam maupun di luar kelas. Seorang guru Kristen yang baik adalah lebih dari sekedar menyampaikan informasi kepada siswanya, namun terus mendorong agar mereka secara dinamis bertumbuh dalam komunitas kebenaran (Palmer, 1998, p. 115). Sehingga para siswa dapat mengaplikasikan konsep kebenaran tersebut untuk melayani Tuhan dan mengasihi orang lain dalam kehidupan nyata.
            Untuk mewujudkan tujuan pengajaran dalam konteks pendidikan Kristen di atas, dibutuhkan guru-guru Kristen yang sungguh-sungguh mengenal Allah secara pribadi dalam rupa Kristus yang telah bangkit dari antara orang mati (Filipi 3:10-11), lahir baru (II Korintus 5:17, Kolose 3:5-10), memiliki prinsip bahwa segala kebenaran adalah kebenaran Allah (all truth is God’s truth), memiliki panggilan sebagai seorang guru dan menyadari bahwa panggilan tersebut merupakan karunia Roh Kudus (Efesus 4:11-12, I Korintus 12:28c, Roma 12:7b) dan senantiasa merendahkan diri serta berdoa meminta Roh Kudus memerintah hidup mereka dalam membuat keputusan sehari-hari pada saat mengajar (Brummelen, 2004, hal. 53). Sebagai pribadi yang terus diperbaharui oleh Roh Kudus, guru Kristen hendaknya mengasihi, senantiasa mendoakan, dan membawa para siswanya untuk berjumpa secara pribadi dengan Allah dalam hidup mereka sehari-hari. Karena menjalankan peran sebagai guru Kristen, maka kita harus memiliki semangat untuk terus mendoakan, bekerja, berkorban untuk para siswa dan mengusahakan pengajaran Kristen yang terbaik bagi mereka (Berkhof, 2004, hal. 59).
Dalam era globalisasi ini, di samping pengembangan pribadi secara rohani yang harus dimiliki sesuai dengan kriteria di atas, guru-guru Kristen pun dituntut memiliki etos kerja yang senantiasa dipimpin oleh Roh Kudus, sehingga mengijinkan dirinya digunakan Allah sebagai saluran kuasa, hikmat dan kasih agar mampu membedakan kebenaran dengan pengajaran-pengajaran palsu yang bersifat sekuler di jaman post modern ini. Guru-guru Kristen hendaknya menyadari bahwa dirinya adalah anggota dari tubuh Kristus di seluruh dunia, sehingga mereka senantiasa belajar dari orang lain dan bekerjasama dengan mereka dalam rangka pengembangan karakter pribadi dan peningkatan kualitas pengajarannya.
Guru-guru Kristen tidak hanya mengajarkan seluruh disiplin ilmu pengetahuan yang ada di dunia, namun hendaknya mengajarkan segala sesuatu yang bersumber dari kebenaran firman Allah yang telah diintegrasikan dengan keseluruhan ilmu pengetahuan tersebut. Pengajaran dasar yang penting ditekankan kepada siswa adalah doktrin yang benar tentang penciptaan, asal dan tujuan hidup manusia, keberdosaan manusia, tindakan Allah menyelamatkan manusia melalui kematian dan kebangkitan Yesus Kristus, serta panggilan untuk hidup beriman di dalam Yesus Kristus, sehingga mereka dapat bertumbuh dan menjadi murid Kristus yang sejati.
Pengajaran yang melandaskan pada konsep humanisme sekuler dan materialisme harus dipangkas oleh para guru Kristen, karena  hal ini bertentangan dan tidak sesuai dengan kebenaran firman Allah. Guru-guru Kristen hendaknya teliti dan meresponi secara bijak ketika mempelajari seluruh disiplin ilmu pengetahuan yang “dikemas” dengan filsafat dunia dan bertentangan dengan firman Allah. Oleh sebab itu penting sekali peranan Roh Kudus sebagai Roh Hikmat untuk membantu guru-guru Kristen membedakan antara kebenaran sejati dan kebenaran yang hanya bersifat humanisme belaka (Kolose 2:8-10). Dengan demikian, pengajaran yang disampaikan oleh guru-guru Kristen tersebut tidak akan membawa para siswanya ke dalam hal-hal yang bersifat negatif pasca pengajaran, tetapi memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan spiritual, karakter, intelegensi dan perilaku mereka, agar mampu berkompetisi secara sehat dalam menghadapi tantangan jaman di era globalisasi.



DAFTAR REFERENSI

Azra, Azyumardi. (2002). Paradigma baru pendidikan nasional: Rekonstruksi dan demokratisasi. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Brummelen, H. (2006). Berjalan dengan Tuhan di dalam  kelas  [Walking with God in the classroom-Christian approaches to learning and teaching]. Tangerang: Universitas Pelita Harapan Press. (Original work published 1992)
Berkhof, Louis. (2004). Dasar pendidikan Kristen [Foundations of Christian Education). Suarabaya: Penerbit Momentum. (Original work published 1990)
Palmer, Edwin, H. (2005). The Holy Spirit His persons and ministry. New Jersey: P&R Publishing Company.
Palmer, Parker, J. (1998). The courage to teach. United States of America: Jossey-Bass.













 

PRINSIP DASAR PENATALAYANAN IBADAH ANAK YANG KREATIF & DINAMIS (The Basic Principles of Dynamic & Creative Kids Celebration Service )


Oleh: Ev. Imanuel Adhitya W. Ch., S.E, M.Pd 
 
A.    Latar Belakang
Erik H. Erikson dalam bukunya yang berjudul, Childhood and Society (2010), mengatakan bahwa masa kanak-kanak adalah masa yang sangat penting untuk pembentukan kepribadian dan karakter. Dengan demikian, masa kanak-kanak adalah suatu tahap di mana manusia itu belajar sebanyak-banyaknya tentang kehidupan sebagai modal hidupnya kelak. Sebab pada masa itu, manusia bersifat imitatif atau menirukan sesuatu yang terjadi di lingkungan sekitar di mana ia tinggal.
Menyikapi hal di atas, maka betapa pentingnya bagi setiap kita untuk memahami serta menciptakan pola pelayanan anak yang kreatif dan dinamis guna mewadahi potensi dan daya kreativitas anak sejak usia dini. Salah satu caranya adalah melalui pelayanan ibadah anak atau biasa kita kenal dengan istilah Ibadah Sekolah Minggu (Sunday School Service ). Melalui pelayanan ibadah Sekolah Minggu ini diharapkan, perkembangan kepribadian dan karakter anak serta daya kreativitasnya dapat disalurkan, sehingga mereka mengalami pertumbuhan fisik dan mental secara optimal. Namun, sungguh sangat disayangkan sering kita jumpai ibadah Sekolah Minggu terkadang dianggap sebagai pelayanan “sampingan” gereja, karena secara proporsional gereja memang seringkali memberikan pelayanan yang jauh lebih besar kepada jemaat dewasa dibandingkan kepada anak-anak. Oleh sebab itu, melalui pelatihan ini mari kita belajar lebih jauh tentang prinsip dasar penatalayanan ibadah anak yang kreatif dan dinamis, sehingga pelayanan anak dapat berkembang dengan baik untuk hormat dan kemuliaan nama Tuhan.

B.     Mengapa Pelayanan Anak itu Penting?
               Mengapa pelayanan anak itu penting? Sebuah pertanyaan yang sederhana, namun seringkali 
kita sulit untuk menjawabnya, bukan? Pdt. Ir. Jarot Wijanarko dalam buku Visi Pelayanan Anak 
(Membangun Generasi Baru), mengatakan ada 2 (dua) alasan mengapa pelayanan anak itu penting. 
Berikut ini akan diuraikan secara lengkap kedua alasan tersebut (Wijanarko, 2001, hal. 19):
§  Pertama, pelayanan anak adalah ladang paling produktif untuk menghasilkan "buah kerajaan". Mengapa? Jelas siapa pun engkau, apa pun bakatmu, seberapa engkau pandai berbicara atau tidak, suka anak atau tidak, saya percaya bahwa jauh lebih mudah mengajak anak menerima Yesus dari pada mengajak pemuda, mahasiswa, apalagi orang tua yang sudah punya konsep sendiri.
§  Kedua, pelayanan anak adalah ladang paling produktif untuk menghasilkan "buah-buah roh".
Jika tujuan pelayanan dan hidup saudara untuk mengumpulkan buah-buah roh, maka sebagai guru sekolah minggu saudara sudah berada di ladang yang paling produktif. Namun, jika nama, pujian, jabatan, ingin tampil di mimbar, persembahan kasih yang besar dan hal-hal sejenis ini yang saudara  cari, maka saudara  tidak cocok untuk pelayanan ini, karena hal-hal semacam ini bahkan tidak ada atau sedikit saja ada di area pelayanan anak.
C.    Sejarah Ibadah Sekolah Minggu
Ibadah Sekolah Minggu yang kita kenal dan layani sampai saat ini memiliki sejarah yang menarik untuk disimak dan sangat menginspirasi, agar kita lebih sungguh-sungguh lagi dalam melaksanakan tugas pelayanan ibadah anak di gereja lokal. Berikut ini adalah ringkasan sejarah ibadah sekolah minggu berdasarkan kisah nyata (based on true story) yang disadur dari Materi Pengenalan Sekolah Minggu (Sabda, 2011):
Pada masa akhir abad ke-18, Inggris sedang dilanda suatu krisis ekonomi yang sangat parah. Setiap orang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan anak-anak dipaksa bekerja untuk bisa mendapatkan penghidupan yang layak. Pada saat itu, wartawan Robert Raikes mendapat tugas untuk meliput berita tentang anak-anak gelandangan di Gloucester bagi sebuah harian (koran) milik ayahnya. Apa yang dilihat Robert sangat memprihatinkan sebab anak- anak gelandangan itu harus bekerja dari hari Senin sampai Sabtu. Apa yang dilakukan anak-anak pada hari Minggu itu? Hari Minggu adalah satu-satunya hari libur bagi mereka yang dihabiskan untuk bersenang-senang. Tapi karena mereka tidak pernah mendapat pendidikan (karena tidak bersekolah), anak-anak itu menjadi sangat liar. Mereka minum-minum dan melakukan berbagai macam kenakalan dan kejahatan.
Melihat keadaan itu Robert Raikes bertekad untuk mengubah keadaan. Ia dengan beberapa teman mencoba melakukan pendekatan kepada anak-anak tersebut dengan mengundang mereka berkumpul di sebuah dapur milik Ibu Meredith di kota Scooty Alley. Selain mendapat makanan, di sana mereka juga diajarkan sopan santun termasuk membaca dan menulis. Tapi hal paling indah yang diterima anak-anak di situ adalah mereka mendapat kesempatan mendengar cerita-cerita Alkitab. Pada mulanya pelayanan ini sangat tidak mudah. Banyak anak yang datang dalam keadaan yang sangat kotor dan berbau. Namun, dengan cara mendidik yang disiplin, kadang dengan pukulan rotan yang dilakukan dengan penuh cinta kasih, anak-anak itu akhirnya belajar untuk mau dididik dengan baik, sehingga semakin lama semakin banyak anak yang datang ke dapur Ibu Meredith. Semakin banyak juga guru yang disewa untuk mengajar mereka, bukan hanya untuk belajar membaca dan menulis tapi juga Firman Tuhan; perjuangan yang sangat sulit tapi melegakan. Dalam waktu empat tahun sekolah yang diadakan pada hari Minggu itu semakin berkembang bahkan ke kota-kota lain di Inggris. Dan jumlah anak-anak yang datang ke sekolah hari minggu terhitung mencapai 250.000 anak di seluruh Inggris.
Mula-mula, gereja tidak mengakui kehadiran gerakan Sekolah Minggu yang dimulai oleh Robert Raikes ini. Tetapi karena kegigihannya menulis ke berbagai publikasi dan membagikan visi pelayanan anak ke masyarakat Kristen di Inggris, dan juga atas bantuan John Wesley (pendiri gereja Methodis), akhirnya kehadiran Sekolah Minggu diterima oleh gereja. Mula-mula hanya oleh gereja Methodis, namun akhirnya juga oleh gereja-gereja Protestan lain. Ketika Robert Raikes meninggal dunia tahun 1811, jumlah anak yang hadir di Sekolah Minggu di seluruh Inggris mencapai lebih dari 400.000 anak. Dari pelayanan anak ini, Inggris tidak hanya diselamatkan dari revolusi sosial, tapi juga diselamatkan dari generasi yang tidak mengenal Tuhan.
Gerakan Sekolah Minggu yang dimulai di Inggris ini akhirnya menjalar ke berbagai tempat di dunia, termasuk negara-negara Eropa lainnya dan ke Amerika. Dan dari para misionaris yang pergi melayani ke negara-negara Asia, akhirnya pelayanan anak melalui Sekolah Minggu juga hadir di Indonesia.
D.    Prinsip Dasar Penatalayanan Anak
Membangun sebuah pelayanan anak yang kreatif dan dinamis tidak terlepas dari bagaimana cara mendidik anak dalam kebenaran firman Allah yang benar, sehingga setiap dari mereka mengalami pertumbuhan secara rohani ke arah Kristus (Kol. 2:6-7), seiring dengan perkembangan fisik dan mental anak. Pelayanan anak pada masa perjanjian lama dan masa perjanjian baru menunjukkan sebuah hubungan yang erat dan bersifat saling melengkapi mengenai bagaimana cara mendidik anak untuk semakin dekat dengan Tuhan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Berikut ini akan diuraikan pola pelayanan anak pada masa perjanjian lama dan masa perjanjian baru tersebut secara lengkap berdasarkan data yang telah diringkas dari Pendalaman Alkitab Sabda (2011):
1.    Pelayanan Anak Pada Masa Perjanjian Lama
Kalau kita menelusuri kembali zaman Perjanjian Lama berdasarkan kajian teologis terhadap kitab Ulangan 6:4-7, maka sebenarnya Alkitab telah memberikan perhatian yang serius terhadap pembinaan rohani anak. Pada masa itu pembinaan rohani anak dilakukan sepenuhnya dalam keluarga, karena sejak sebelum usia lima tahun anak telah dididik oleh orang tuanya untuk mengenal Allah dengan benar. Pada masa pembuangan di Babilonia (sekitar tahun 500 SM), ketika Tuhan menggerakkan Ezra dan para ahli kitab untuk membangkitkan kembali kecintaan bangsa Israel kepada Taurat Tuhan, maka dibukalah tempat ibadah Sinagoge di mana mereka dapat belajar firman Tuhan kembali, termasuk di antara mereka adalah anak-anak. Orang tua wajib mengirimkan anak-anaknya yang berusia di bawah lima tahun ke Sinagoge. Di tempat inilah mereka dididik oleh guru-guru yang ahli kitab taurat agar mengerti prinsip kebenaran ilahi yang ditulis oleh Musa. Proses pendidikan berlangsung dengan cara anak-anak dikelompokkan dalam sebuah kelas dengan jumlah murid maksimum 25 orang yang dibimbing untuk aktif berpikir dan bertanya, sedangkan guru menjadi fasilitator yang selalu siap sedia menjawab pertanyaan-pertanyaan dari mereka.
2.    Pelayanan Anak Pada Masa Perjanjian Baru
Menurut hasil investigasi alkitab yang dilakukan oleh para teolog dalam surat I Timotius 3:15, menyatakan bahwa ketika orang-orang Yahudi yang dibuang di Babilonia diizinkan pulang ke Palestina, mereka meneruskan tradisi membuka tempat ibadah Sinagoge ini di Palestina sampai masa Perjanjian Baru. Sebagaimana anak-anak Yahudi yang lain, ketika masih kecil Tuhan Yesus juga menerima pengajaran Taurat di Sinagoge. Dan pada usia dua belas tahun Yesus sanggup bertanya jawab dengan para ahli Taurat di Bait Allah. Tradisi mendidik anak-anak secara ketat terus berlangsung sampai pada masa rasul-rasul (1 Tim. 3:15) dan gereja mula-mula. Namun, tempat untuk mendidik anak perlahan-lahan tidak lagi dipusatkan di Sinagoge, tetapi di gereja tempat jemaat Tuhan berkumpul. Tetapi sayang sekali pada abad pertengahan gereja tidak lagi memelihara kebiasaan mendidik anak seperti abad-abad sebelumnya. Bahkan orang dewasa pun tidak lagi mendapatkan pengajaran firman Tuhan dengan baik. Barulah pada masa Reformasi, gerakan pengembalian kepada pengajaran Alkitab dibangkitkan lagi, dan pendidikan terhadap anak-anak mulai digalakkan kembali, khususnya melalui kelas Katekismus (kateksasi). Untuk itu, hanya para pekerja gereja sajalah yang diizinkan untuk terlibat dalam pembinaan. Namun, kurangnya orang yang terlatih untuk mengajarkan kelas Katekismus menyebabkan pelayanan anak menjadi mundur bahkan perlahan-lahan tidak lagi menjadi perhatian utama gereja dan diadakan hanya sebagai prasyarat bagi anak-anak yang akan menerima konfirmasi (baptis sidi).
E.     Panggilan Untuk Melayani dan Memahami Rencana Tuhan Bagi Anak-Anak
Sebagai pelayan Tuhan, kita telah dipanggil untuk ikut ambil bagian dalam membentuk anak-anak yang dipercayakan Tuhan kepada kita. Ini merupakan tanggung jawab yang sangat besar. Melalui kita, Tuhan ingin agar anak-anak ini mengenal Pencipta mereka; bertemu dengan Dia dan diubahkan menjadi ciptaan baru. Pelayanan anak atau Sekolah Minggu tidak semata-mata dibentuk untuk mendidik mereka menjadi anak-anak manis yang mempunyai sikap baik budi. Itu bukan tujuan utama Tuhan bagi anak-anak. Tapi, pertama, mereka harus berjumpa secara pribadi dengan Tuhan Yesus Kristus (Mrk. 10:13-16), dan apa yang telah dimulai oleh-Nya, akan disempurnakan-Nya pula.
Pendidikan rohani melalui pelayanan anak atau Sekolah Minggu akan menjadi dasar pertumbuhan rohani seorang anak untuk dapat mengenal kebenaran Alkitab, menyembah dan memuji Tuhan, serta mengasihi pekerjaan-Nya. Apabila mereka telah dimenangkan, generasi selanjutnya juga telah dimenangkan karena merekalah generasi penerus dan calon pemimpin bagi generasi yang akan datang. Tidak bisa disangkal bahwa 50% anggota jemaat gereja pada umumnya berasal dari anggota Sekolah Minggu. Oleh karena itu, kita perlu melayani anak-anak dan memberi perhatian besar kepada mereka. Jika kita memenangkan anak-anak, kita tahu kita sedang memenangkan gereja di masa depan.
Apabila kita berbicara tentang rencana Tuhan dalam hidup manusia, maka hal ini tidaklah terlepas juga dari rencana Tuhan terhadap anak-anak. Beberapa hal yang menjadi alasan mengapa setiap kita harus memahami dengan benar rencana Tuhan atas hidup anak-anak tersebut:
1.    Tuhanlah yang membentuk manusia sejak dia masih bakal anak di dalam kandungan ibunya, sekaligus merancang kehidupan yang akan dilaluinya (Mazmur 139:13-16).
2.    Tuhan juga ingin memulihkan bangsa Israel dengan membentuk generasi baru yang bisa masuk ke tanah Kanaan (tanah perjanjian); dan hanya generasi yang berusia 20 tahun ke bawah yang diijinkan oleh Tuhan untuk masuk ke tanah perjanjian, termasuk di dalamnya adalah kelompok usia anak-anak (Bilangan 21:4-9).
3.    Tuhan juga merencanakan pembangunan Yerusalem baru yang penuh dengan anak-anak laki-laki dan perempuan yang bermain di jalanan (Zakaria 8:3).
4.    Sejak kejatuhan manusia dalam dosa, anak-anak yang lahir telah mewarisi dosa (Mazmur 51:7), dan anak-anak juga akan menghadap takhta pengadilan Allah (Wahyu 20:12-15). Oleh karena itu, anak-anak juga membutuhkan keselamatan dari Tuhan (Matius 18:14). Melalui kuasa kelahiran baru yang dikerjakan oleh Roh Kudus, maka Tuhan memberikan rencana baru bagi manusia, termasuk anak-anak. Mereka akan bertumbuh menjadi milik kepunyaan-Nya dan berkarya bagi kemuliaan-Nya (Roma 11:36).
5.    Anak-anak memiliki hati yang lemah lembut, merupakan tanah yang baik dan ladang rohani yang paling cocok untuk ditanami kebenaran Alkitab. Alkitab pun mencatat bahwa anak-anak dapat percaya kepada Tuhan, dapat menyesali dosanya, serta dapat memperoleh keselamatan dari Tuhan, bahkan orang dewasa patut meneladani sikap anak-anak ini (Markus 10:15).

F.     Pentingnya Penatalayanan Pujian dan Penyembahan Dalam Ibadah Anak
Sebelum kita membahas tentang bagaimana teknik memimpin pujian dan penyembahan secara kreatif pada pelayanan ibadah anak atau kita kenal dengan istilah sekolah minggu, maka penting bagi setiap pelayan anak, dalam hal ini guru-guru sekolah minggu, untuk mengetahui alasan utama mengenai arti pentingnya pujian dan penyembahan bagi anak dan perlunya persiapan khusus sebelum melakukan pelayanan ini. Di bawah ini adalah beberapa alasan yang melatarbelakangi pentingnya pelayanan pujian dan penyembahan dalam ibadah anak:
1.      Untuk mempersiapkan hati anak
Keadaan anak ketika mereka datang ke Sekolah Minggu sangat beraneka-ragam. Ada anak yang datang dengan sedih, ada yang baru menangis, ada yang bercanda, berkelahi, dan sebagainya. Tetapi ketika guru mulai mengajak mereka menyanyi memuji Tuhan, hal-hal yang mengganggu tersebut dapat dilupakan. Anak mulai mengarahkan perhatiannya untuk bernyanyi dengan demikian hati mereka telah dipersiapkan untuk mendengar dan menerima Firman Tuhan.


2.      Memperdalam makna cerita
Melalui nyanyian yang berhubungan dengan cerita atau pelajaran Alkitab yang disampaikan oleh guru, maka anak akan lebih mudah mengingat isi cerita. Misalnya cerita tentang Nabi Nuh dan Istrinya; Sadrakh, Mesakh, dan Abednego; Larilah Lot dan Keluarganya; Naaman sakit kusta, dan sebagainya.
3.      Menolong anak untuk bersaksi
Nyanyian yang dipelajari di Sekolah Minggu, seringkali dinyanyikan anak-anak di rumah. Melalui lagu-lagu tersebut, diharapkan anak dapat menjadi alat Tuhan untuk membawa keluarga dan teman-teman bermainnya mengenal Tuhan dengan lebih intim.
4.      Memberikan penghiburan bagi anak
Adakalanya anak mengalami kecemasan, kesedihan dan ketakutan yang mungkin tidak bisa diutarakan kepada siapapun. Syair lagu pujian yang sudah mereka hafal dapat menjadi penghiburan kepada mereka. Misalnya, lagu Ada Satu Sobatku Yang Setia.
5.      Menolong anak untuk memiliki hubungan yang lebih intim dengan Tuhan
Kadang-kadang anak dapat menjawab kesan yang diperoleh dari cerita melalui nyanyian. Misalnya, lagu pujjian Mari masuk, Haleluya saya mau cinta Yesus, dan sebagainya. Melalui pujian tersebut diharapkan anak akan merasa ingin selalu tinggal dalam dekapan kasih Tuhan setiap hari (living in God presence everyday).

G.    Teknik Dasar Memimpin Pujian dan Penyembahan Kreatif Dalam Ibadah Anak
Bertolak dari pemahaman di atas, mengenai pentingnya penatalayanan pujian dan penyembahan dalam ibadah anak, maka berikut ini akan dijelaskan teknik memimpin pujian dan penyembahan dalam ibadah sekolah minggu, agar anak menikmati suasana pujian dan penyembahan dengan penuh sukacita dan menyenangkan hati Tuhan:
  1. Nyanyian dengan gerakan, banyak lagu-lagu sekolah minggu yang dapat dinyanyikan dengan disertai gerakan. Misalnya, lagu Biarpun Gunung-Gunung Beranjak, Yesus di dalam rumahku, Happy ya ya, dan sebagainya.
  2. Nyanyian dengan simulasi, maksudnya lagu yang dinyanyikan disertai aktifitas anak. Misalnya, lagu Jalan Serta Yesus, Aduh Senangnya Naik Kereta, dan sebagainya.
  3. Nyanyian dengan kata yang dihilangkan, yaitu salah satu kata dalam lagu tidak dinyanyikan. Misalnya, lagu Yesus Sayang Semua menjadi Yesus ... Semua (kata sayang dihilangkan, bisa diganti dengan kata “eem” atau istilah lain sebagai variasi dalam menyanyikan lagu tersebut).
  4. Sapu tangan yang diedarkan, misalnya untuk memberikan variasi gerakan pada lagu Kasih-Nya seperti Sungai.
  5. Kanon, yaitu lagu yang dinyanyikan secara bersahutan, Misalnya lagu Memuji Tuhan selalu, Rukun Cinta, dan sebagainya.
  6. Duduk berkelompok atau berbaris secara berurutan, Misalnya lagu Hari ini hari-Nya Tuhan, Do Little Motion 123, Matius Markus Lukas, Singing Glory Praise The Lord, dan sebagainya.




H.     Persiapan Teknis Memimpin Pujian dan Penyembahan Dalam Ibadah Anak
Persiapan teknis mutlak diperlukan sebelum mengawali pelayanan pujian dan penyembahan dalam ibadah anak agar berlangsung tertib dan tercipta suasana yang penuh sukacita, sehingga setiap anak yang hadir merasakan lawatan Tuhan atas hidup mereka. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
1.      Persiapkan lagu-lagu yang akan dinyanyikan. Daftar dan ingatlah urutannya serta sesuaikan dengan tema cerita sekolah minggu.
2.      Adakan latihan dengan pemain musik sesuai jadwal yang telah disepakati bersama.
3.      Kuasai lirik lagu yang akan dinyanyikan.
4.      Semangat, kesungguhan hati, dan kerendahan hati mutlak diperlukan dalam memimpin pujian dan penyembahan, serta usahakan jangan terpengaruh keadaan yang dapat mengganggu konsentrasi anak dalam memuji Tuhan.
5.      Perhatikan kebersihan dan kerapian pakaian, kebersihan badan, gigi, kuku, rambut dan sepatu. Mengapa ini merupakan bagian yang penting untuk diperhatikan? Karena usia anak adalah masa meniru atau imitasi, seperti yang telah dijelaskan di pembahasan awal makalah ini. Jadi, penampilan diri setiap pelayan, akan menjadi contoh atau teladan bagi anak-anak yang sedang dilayani.
6.      Jelaskan kata-kata baru atau lirik dalam pujian yang tidak dimengerti anak-anak. Kemampuan berbahasa dan sensori motorik anak masih belum sempurna seperti orang dewasa, jadi bantu mereka untuk menerjemahkan maksud dari setiap lirik lagu yang dinyanyikan; termasuk ajarlah mereka secara perlahan dan bertahap untuk menguasai lagu-lagu baru, jika pemimpin pujian menghendaki lagu baru untuk dinyanyikan bersama dengan anak-anak yang sedang dilayani.
7.      Datanglah lebih awal sekitar 10-15 menit sebelum ibadah sekolah minggu dimulai, dengan tujuan untuk menyambut anak-anak yang hadir, mengadakan doa persiapan sebelum melayani bersama dengan para pelayan anak yang lain, mempersiapkan ruang ibadah, serta  mempersiapkan segala sesuatunya yang berkaitan dengan materi atau alat peraga yang akan digunakan untuk bercerita.

I.       Variasi Alternatif Ibadah Anak dan Jenis Lagu Yang Tepat Untuk Dinyanyikan
Agar tidak mengalami suatu kejenuhan atau rutinitas yang membosankan, maka dalam ibadah anak perlu dipikirkan beberapa variasi pujian dan penyembahan yang disesuaikan dengan variasi acara dalam Ibadah anak, baik yang diadakan di dalam ruangan maupun di luar ruangan. Berikut ini akan dijelaskan beberapa alternatif variasi acara ibadah anak dan lagu yang tepat untuk dinyanyikan sesuai dengan format ibadah dan tema acara tersebut (Rajawali Kecil, 2009):
1.      KKR Anak
Acara KKR Anak bisa dilakukan sebulan sekali, tiga bulan sekali, dan sebagainya disesuaikan dengan kebutuhan gereja lokal. Acara KKR bisa juga dilakukam pada acara Malam Pengurapan, Retreat, Perayaan Paskah, dan sebagainya. Untuk acara-acara seperti itu, lebih baik pilihlah lagu-lagu yang serius, lagu-lagu penyembahan atau lagu pujian seperti lagu-lagu pada ibadah dewasa. Hindari lagu yang menjurus pada simulasi, kecuali bila diperlukan sebagai ice breaker.
2.      Ibadah Anak Ceria
Acara ini bisa dilakukan pada kebaktian Minggu, Rabu Ceria, Sekolah Injil Liburan, dan sebagainya. Dalam acara ini lagu-lagu bertempo lambat (slow beat) sebaiknya hanya dinyanyikan sebelum doa pembukaan, sebelum cerita dan sesudah cerita. Baik juga bila digunakan lagu dengan gerakan atau sedikit simulasi.
  1. Keakraban dan Permainan (fun games)
Hampir sama dengan poin kedua, acara ini bisa dilakukan pada kebaktian Minggu (dalam kebaktian gabungan atau perayaan ulang tahun anak), malam apresiasi anak, kids bible camp, dan sebagainya. Dalam acara ini perbanyak lagu dengan simulasi untuk meningkatkan keakraban di antara murid-murid Sekolah Minggu, apalagi bila peserta yang hadir terdiri atas beberapa gereja yang berasal dari luar sebagai tamu undangan.

J.      Pengetahuan Dasar Tentang Psikologi Perkembangan Anak
Sebagian orang berpendapat bahwa mengajar di Sekolah Minggu bukanlah pekerjaan yang sukar. Anggapan seperti inilah yang sering menjadi penyebab kegagalan dalam mengajar. Karena disamping persiapan mengajar yang matang, seorang Guru Sekolah Minggu dituntut untuk memahami dan memerhatikan perkembangan Psikologi Anak berdasarkan usianya. Hal ini akan berpengaruh pada teknik mengajar yang harus digunakan sesuai dengan perkembangan usia mereka. Dari berbagai ahli yang menyusun tentang tingkat perkembangan anak, ada dua model yang sangat berpengaruh dalam pengajaran di Sekolah Minggu.
Dengan mempertimbangkan batasan umum Sekolah Minggu, maka dalam pembahasan inipun dibatasi sampai pada usia pra-remaja dengan perkembangan normal, berdasarkan 2 (dua) teori perkembangan anak, yaitu teori Perkembangan Kognitif dan Teori Perkembangan Psycho-Social. Berikut ini akan dijelaskan kedua bentuk teori tersebut:
§  Teori Perkembangan Kognitif
Menurut PIAGET (1896-1980), seorang psikolog berkebangsaan Swiss, membagi psikologi perkembangan anak ini ke dalam 4 tahap yang dinamakan dengan Teori Perkembangan Kognitif, yaitu:
1.    Sensori Motor (usia 0-2 tahun)
Dalam tahap ini perkembangan panca indra sangat berpengaruh dalam diri anak.
Keinginan terbesarnya adalah keinginan untuk menyentuh/memegang, karena didorong oleh keinginan untuk mengetahui reaksi dari perbuatannya. Dalam usia ini mereka belum mengerti akan motivasi dan senjata terbesarnya adalah 'menangis'. Menyampaikan cerita/berita Injil pada anak usia ini tidak dapat hanya sekedar dengan menggunakan gambar sebagai alat peraga, melainkan harus dengan sesuatu yang bergerak (panggung boneka akan sangat membantu).
2.    Pra-operasional (usia 2-7 tahun)
Pada usia ini anak menjadi 'egosentris', sehingga berkesan 'pelit', karena ia tidak bisa melihat dari sudut pandang orang lain. Anak tersebut juga memiliki kecenderungan untuk meniru orang di sekelilingnya. Meskipun pada saat berusia 6-7 tahun mereka sudah mulai mengerti motivasi, namun mereka tidak mengerti cara berpikir yang sistematis dan rumit. Dalam menyampaikan cerita harus ada alat peraga.
3.    Operasional Kongkrit (usia 7-11 tahun)
Saat ini anak mulai meninggalkan 'egosentris'-nya dan dapat bermain dalam kelompok dengan aturan kelompok (bekerja sama). Anak sudah dapat dimotivasi dan mengerti hal-hal yang sistematis. Namun dalam menyampaikan berita Injil harus diperhatikan penggunaan bahasa. Gunakan bahasa sederhana agar mudah dimengerti dan selingi dengan humor yang positif agar anak tetap semangat dan fokus mendengarkan cerita.
4.    Operasional Formal (usia 11 tahun ke atas)
Pengajaran pada anak pra-remaja ini menjadi sedikit lebih mudah, karena mereka sudah mengerti konsep dan dapat berpikir, baik secara konkrit maupun abstrak, sehingga tidak perlu menggunakan alat peraga. Namun kesulitan baru yang dihadapi guru adalah harus menyediakan waktu untuk layanan konseling pribadi, agar guru dapat memahami pergumulan yang sedang mereka hadapi ketika memasuki usia pubertas.

§  Teori Perkembangan Psycho-Social
Menurut ERICK H. ERICKSON (1902-1994), seorang psikolog berkebangsaan Jerman, yang secara khusus mempelajari teori perkembangan Psycho-social atau perkembangan jiwa manusia yang dipengaruhi oleh masyarakat. Erickson membagi teori tersebut menjadi 8 tahap, namun hanya 4 (empat) tahap saja yang akan dibahas dalam makalah ini karena disesuaikan dengan batasan usia sekolah minggu, sebagai berikut: 
1.      Trust >< Mistrust (usia 0-1 tahun)
Tahap pertama adalah tahap pengembangan rasa percaya diri. Fokus terletak pada panca indera, sehingga mereka sangat memerlukan sentuhan dan pelukan dari orang tua dan guru Sekolah Minggu.
2.      Otonomi/Mandiri >< Malu/Ragu-ragu (usia 2-3 tahun)
Tahap ini bisa dikatakan sebagai masa pemberontakan anak atau masa 'nakal'. sebagai contoh langsung yang terlihat adalah mereka akan sering berlari-lari dalam Sekolah Minggu. Namun kenakalannya itu tidak bisa dicegah begitu saja, karena ini adalah tahap dimana anak sedang mengembangkan kemampuan motorik (fisik) dan mental (kognitif), sehingga yang diperlukan justru mendorong dan memberikan tempat untuk mengembangkan motorik dan mentalnya. Media gambar dan mewarnai merupakan salah satu media belajar yang bisa membantu mereka untuk fokus terhadap materi cerita yang disampaikan oleh guru Sekolah Minggu. Pada saat ini anak sangat terpengaruh oleh orang-orang penting di sekitarnya (orang tua dan guru Sekolah Minggu).
3.      Inisiatif >< Rasa Bersalah (usia 4-5 tahun)
Dalam tahap ini anak akan banyak bertanya dalam segala hal, sehingga berkesan cerewet. Pada usia ini juga mereka mengalami pengembangan inisiatif atau ide, sampai pada hal-hal yang berbau fantasi. Mereka sudah lebih bisa tenang dalam mendengarkan Firman Tuhan di Sekolah Minggu.
4.      Industri (Rajin) >< Inferioriti (usia 6-11 tahun)
Anak usia ini sudah mengerjakan tugas-tugas sekolah dan termotivasi untuk belajar. Namun masih memiliki kecenderungan untuk kurang hati-hati dan menuntut perhatian.
5.      Namun, Mereka sudah lebih tenang dan fokus dalam mendengarkan Firman Tuhan di Sekolah Minggu serta mulai mampu menghafal beberapa ayat hafalan yang telah dipersiapkan oleh guru.


DAFTAR REFERENSI
Erikson, Erik H. (2010). Childhood and Society. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wijanarko, Jarot. (2001). Visi Pelayanan Anak: Membangun Generasi Baru. Jakarta: Suara Pemulihan.
Tim Guru Sekolah Minggu Sabda. “Materi Pengenalan Sekolah Minggu”. Available from http://www.pesta.org; Internet; accessed 27 Desember 2011.

Tim Guru Sekolah Minggu Rajawali Kecil. “Mitra Guru, Sahabat Anak”. Available from http://www.rajawalikecil.com; Internet; accessed 28 Desember 2011.

Tim Guru Sekolah Minggu Pemuda Kristen. “Mengenali Perkembangan Anak”. Available from http://www.pemudakristen.com/artikel/sekolah_minggu.php; Internet; accessed 29 Desember 2011.